Keteladanan dalam Al-Qur’an hanya ditujukan pada dua tokoh nabi yang sangat mulia, yakni Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad SAW. Begitu pula gelar kekasih Allah hanya disandang oleh kedua nabi tersebut. Shalawat yang diajarkan Rasulullah saw pada umatnya pun hanya bagi dua nabi dan keluarganya. Pilihan Allah SWT ini sangat terkait dengan risalah yang telah dilakukan oleh keduanya dengan sangat sempurna.
Pada kesempatan ini marilah kita ungkap sedikit mengenai sejarah dan keteladanan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s beserta keluarganya.
Telah diceritakan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, Bapak dari para nabi itu telah melewati berbagai cobaan dari Allah SWT sejak beliau masih muda hingga masa tuanya dengan penuh kesabaran dan ketaatan, tanpa membantah. Beliau pernah dibakar hidup-hidup atas perintah Raja Namrud yang lalim karena berjuang menegakkan risalah Allah, menghabiskan bilangan tahun yang panjang dalam menanti seorang anak, kemudian saat sang anak lahir, beliau diperintahkan untuk meninggalkan anak itu beserta ibunya di tengah padang pasir tandus yang tak berpenghuni tanpa dibekali apa-apa. Namun, puncak dari segala cobaan yang diterima oleh Nabi ibrahim a.s, yakni ketika beliau menerima ilham untuk menyembelih anak yang teramat disayanginya, yang dinanti-nantikan kehadirannya. Perintah yang paling tidak masuk akal bagi kita.
Namun, Nabi ibrahim dan anaknya, Ismail, dengan berserah kepada Allah SWT, dengan penuh keikhlasan mau melaksanakan perintah dari Allah yang sangat berat itu. Walaupun di tengah perjalanan menuju tempat penyembelihan keduanya digoda oleh syaitan yang berusaha menggoyahkan keyakinan mereka, namun mereka tetap teguh dalam melaksanakan perintah Tuhan, bahkan melempari syaitan yang menggoda niat mereka itu.
Saat-saat yang menegangkan pun tiba. Ketika nabi Ibrahim menempelkan mata pisau yang tajam ke leher anaknya, Ismail, saat itulah Allah berbuat lain. Tanpa disadari oleh kedua hamba Allah yang patuh itu, Allah telah menukar Ismail dengan seekor kibasy (sejenis domba) yang gemuk untuk disembelih. Sehingga Ismail pun selamat dari penyembelihan yang dilakukan ayahnya.
Kisah itu sudah menjadi pengetahuan bagi seluruh umat muslim, dan setiap tahunnya, jutaan umat muslim melaksanakan ritual ibadah haji sebagai bentuk keteladanan terhadap perjalanan pengorbanan yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim beserta keluarganya. Setiap rukun haji melambangkan kejadian yang dilakukan oleh Siti Hajar, Nabi Ibrahim a.s, dan anaknya, Ismail. Seperti lari-lari kecil (sa’i), melempar jumroh, termasuk menyembelih hewan kurban. Namun, pelajaran apakan yang dapat kita petik dari kisah pengorbanan nabi Ibrahim ini? Setidaknya ada 3 hal yang dapat kita jadikan pelajaran.
Pertama, sebagai seorang mukmin yang mengaku beriman, kita tidak akan dibiarkan merasa beriman tanpa diuji oleh Allah. Bahkan para nabi pun tidak luput dari ujian Allah. Terlebih kita sebagai manusia biasa yang hampir setiap hari menumpuk dosa dalam catatan amal kita. Ujian yang diberikan kepada kita sebenarnya ada dua bentuk, yakni musibah dan nikmat.
Ada beberapa sebab Allah memberikan ujian berupa musibah kepada kita. Yang pertama, bisa jadi itu merupakan sebuah teguran dari Allah kepada kita sebagai ummat-Nya yang sudah dianggap menyimpang jauh dari jalan yang diridhoi-Nya. Misalnya keadaan negeri kita belakangan ini yang menerima ujian bertubi-tubi berupa bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah nusantara dan telah memakan banyak korban, seperti banjir bandang di Papua, gempa dan tsunami di Sumatera Barat, dan yang terakhir meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah.
Peristiwa-peristiwa itu telah meninggalkan luka bagi ibu pertiwi. Sudah selayaknya kita renungkan bersama apa yang menyebabkan Allah begitu murka sehingga menurunkan azab-Nya secara bertubi-tubi kepada kita. Bukankah seharusnya kita bisa mengambil pelajaran? Sudah banyak penyimpangan dan kerusakan yang dilakukan di atas bumi zamrud khatulistiwa ini. Sudah banyak yang kufur terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Bisa kita lihat, tidak ada negeri yang kekayaannya melebihi negeri kita tercinta ini. Melimpahnya kekayaan alam, keindahan alam yang tiada bandingannya di belahan dunia manapun, beragamnya suku, adat, budaya, dan keanekaragaman kuliner khas dari setiap daerahnya, semua itu hanya dimiliki oleh Indonesia. Tapi ternyata, semua kekayaan yang telah diberikan Allah itu tidak membuat kita cukup bersyukur. Justru sebaliknya, membuat kita semakin serakah, tamak, dan kufur terhadap nikmat Allah. Tidak hanya banyak kerusakan alam yang dilakukan seperti penggundulan hutan secara membabi buta, pengerukan gunung-gunung sebagai pasak bumi yang akhirnya menjadi danau-danau yang tidak produktif karena mengandung zat-zat beracun dan berbahaya, tapi juga banyak kerusakan di bidang lainnya seperti KKN berjamaah yang nampaknya sudah mendarah daging dan berurat akar dalam benak hampir setiap perangkat institusi. Belum lagi bobroknya moral anak bangsa akibat gerusan globalisasi zaman tanpa filter yang sifatnya prinsipil yang sampai sekarang belum ditemukan penyelesaiannya.
Allah menegur kita karena Allah begitu menyayangi kita. Allah ingin kita kembali kepada-Nya. Kembali menjadi hamba yang taat, hamba yang bertaqwa. Allah ingin kita memperbaiki lagi kerusakan-kerusakan yang sudah terlanjur dilakukan, semua demi kebaikan kita sendiri, demi kesejahteraan kita bersama. Allah ingin kita kembali ingat apa tujuan hidup kita di dunia ini, yakni beribadah kepada-Nya.
Selain sebagai teguran, ujian dalam bentuk musibah yang diberikan oleh Allah bisa jadi karena Allah ingin menghapuskan dosa-dosa kita yang sudah menggunung tak terhitung banyaknya. Bagaimana caranya? Yakni dengan bersabar. Jika kita sanggup bersabar atas ujian yang diberikan Allah, maka kesabaran kita itu akan menghapus dosa-dosa kita. Bersabar tidak hanya pasrah menerima nasib, tapi bagaimana kita berusaha bangkit dan keluar dari ujian dan permasalahan yang diberikan Allah. Bukan hanya bersabar dengan berdiam diri. Hal itu tidak disukai Allah, karena Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum jika kaum itu tidak berusaha untuk mengubah keadaannya sendiri.
Kemudian, ujian dari Allah bisa jadi dimaksudkan untuk mengangkat derajat hamba-Nya. Seperti Nabi Ibrahim yang kemudian layak disebut-sebut sebagai kekasih Allah setelah melewati begitu banyak ujian sepanjang perjalanan hidup beliau. Namun beliau tetap tabah, sabar, dan selalu berserah kepada Allah SWT dalm menjalankan setiap titah yang diperintahkan kepada beliau.
Adapun ujian dari Allah ada juga berupa nikmat. Ujian berupa nikmat ini seringkali tidak kita sadari, bahkan kita abaikan dan kita pergunakan untuk hal-hal tercela yang dibenci Allah. Ujian berupa nikmat ini bisa berupa kekayaan, kedudukan, kesehatan, kecerdasan, dan sebagainya. Seorang hamba Allah dikatakan lulus ujian tersebut jika ia bisa mensyukuri dan memanfaatkan nikmat yang diberikan oleh Allah itu untuk hal-hal baik, untuk beribadah dan berjuang di jalan-Nya.
Pelajaran ke dua yang bisa kita tarik dari kisah Nabi Ibrahim tersebut ialah agar kita beribadah dengan ikhlas, tanpa motivasi lain kecuali semata-mata mengharapkan ridho dari Allah SWT. Niat yang ikhlas itulah yang membuat Nabi Ibrahim sanggup menyembelih anak kandungnya sendiri, demi mematuhi perintah Allah.
Namun beribadah dengan dengan niat yang ikhlas ini tidak mudah dilakukan karena hati manusia begitu mudah tergelincir dan tergoda oleh motivasi lain. Sebagaimana yang kita ketahui, sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan yang diniatkannya. Misalnya, jika seseorang bersedekah dengan maksud ingin dipuji dan dianggap dermawan oleh orang di sekitarnya, maka hal itulah yang akan didapatnya, bukan pahala di sisi Allah SWT.
Pelajaran ke tiga dari cerita Nabi ibrahim tersebut adalah berkaitan dengan hubungan bapak (orang tua) dan anak. Ketika Nabi Ibrahim a.s memberitahukan kepada Ismail tentang penyembelihan itu, Ismail tidak memperlihatkan sikap penolakan, bahkan mendukung untuk segera melaksanakan perintah dari Tuhan kepada ayahnya itu. Betapa Ismail sebagai anak begitu patuh kepada orang tuanya dan juga patuh kepada Allah, sekalipun perintah yang dilaksanakan kepadanya itu akan membahayakan jiwanya.
Kita sebagai anak, diwajibkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua kita sekalipun mereka tidak beriman kepada Allah. Kita pun harus menuruti nasihat dan perintah orang tua selama itu akan membawa kebaikan bagi diri kita dan tidak melanggar larangan Allah SWT.
Begitu dihormatinya posisi orang tua dalam Islam, sehingga orang tua berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya agar berkepribadian muslim dan berbakti kepada Tuhannya. Namun, dewasa ini banyak kita saksikan orang tua yang seakan lupa pada kewajibannya mendidik anak-anak mereka karena terlalu disibukkan oleh kewajiban lain yakni mencari nafkah. Sehingga banyak anak yang tercukupi semua kebutuhannya secara materiil tapi kering jiwa dan batinnya karena jarang atau bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang dari orang tuanya. Seharusnya kedua kewajiban itu bisa dilaksanakan secara seimbang. Carilah nafkah secukupnya, dan jangan sampai melupakan kewajiban penting untuk membimbing dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
Itulah tiga pelajaran di antara banyak hikmah lain yang dapat kita tarik dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. Semoga dengan mempelajari hikmah ini dapat membuat kita lebih bijak dalam menghadapi setiap permasalahan dalam hidup kita. Aamin 3x, yaa … robbal ‘alamin …
0 comments:
Post a Comment